Rabu, 26 November 2014

Hello February


Februari beberapa tahun silam.
Seperti biasa, hari valentine menyeruak menjadi hari yang cukup spesial bagi mereka.
Dalam hari Februari kala itu, ada dua manusia yang sedang intens dalam hangatnya canda bahkan sendu tangis.
Hingga suatu hari, suatu kalimat terucap.
Kalimat sederhana yang masih melekat diantara relung otak seseorang.
Kalimat pertanyaan yang membawanya jauh terayun dalam maligai asmara.
Berayun diantara hempasan angin, menerjang ombak melewati bulan, lalu tahun.
Bertahan diantara duri dan kerikil yang menggujam.
Lalu sampailah di Februari beberapa tahun kemudian.
Februari yang cukup berbeda tak biasa.
Februari berselimut kelabu sendu lara.
Februari yang dingin menatap asa yang dicinta.
Februari ceria mendadak resah tak ada yang berani mengalahkan suramnya.
Februari penuh lara hingga tiada yang sanggup menjadi penawarnya.
Berawal disuatu hari dibulan Februari, lalu berakhir menguat disalah satu hari Februari yang lain.
Bukan salah Februari, tapi Tuhan sengaja memberikannya di Februari.
Membuat Februari yang terlewati menjadi berwarna.
Lalu, selamat datang Februari esok hingga kelak, semoga menjadi yang lebih berwarna dan bermakna, bagi kami umatMu.
Selasa, 25 November 2014

Hey, Kamu!

 Hey kamu, yang juga sedang berjuang menahan diri,

“Aku pernah mencoba dengan dia yang salah. Kau pernah gagal menjelajahi labirin hatinya sampai kehilangan arah.  
Tapi bukankah setiap pagi selalu menawarkan kesempatan baru? Bukankah setiap orang berhak atas perjalanan yang lebih menjanjikan untuk dijalani kemudian? 
Demimu, aku rela menunggu. Demi kau, aku bersabar dan berjibaku demi memantaskan diriku.”

Apa kabar dirimu? Jika bisa, rasanya ingin kutawarkan tempat duduk di sisiku khusus untukmu. Ingin kupandang wajahmu lekat-lekat lalu bertanya,
“Beratkah hari-harimu belakangan ini? Cukup menyenangkan kah pekerjaan yang sedang kau jalani? Atau kau masih berkutat dengan teori dan buku yang membuatmu terjaga sampai dini hari?”
Harapanku, semoga kamu dan kehidupanmu di sana berjalan mulus tanpa gangguan yang berarti. Doaku tak putus-putus untukmu, kukirim dari sini.
Seandainya sekarang kita sudah bisa berjumpa, ingin kuceritakan semua rasa yang sudah sekian lama mengendap di udara. Melihat kuatnya hasratku bercerita, tampaknya kelak pertemuan kita akan lebih mirip reuni dua sahabat lama dibanding pertemuan dua orang yang sedang dimabuk cinta.
Sampai hari itu tiba, kumohon tabahkan dirimu. Semesta sedang berjingkat mengurus pertemuan kita di satu masa paling sempurna. Yakinlah ia akan segera ada di hadapan mata.

Padamu, yang kuyakini telah ditakdirkan namun tetap perlu diperjuangka,

Kita adalah dua manusia yang sebenarnya berjuang di arena pertarungan serupa, hanya saja dari dua tempat berbeda. Kau berjuang menjaga mata, aku di sini mencoba sekuat tenaga membentengi hati sampai kau tiba.
Beragam godaan itu tetap ada. Mulai dari ajakan nonton, makan bersama, sampai tawaran diantar pulang ketika waktu sudah kian malam. Sebagai manusia biasa, kadang aku tergoda. Iri rasanya melihat rekan-rekan sejawat tampak punya pasangan yang selalu bisa diandalkan. Sedang aku, harus sabar menghadapi dunia seorang diri sembari menunggumu datang.
Maka Sayang, jangan pula kau keluhkan keterbatasanmu. Memang benar, kau sering diejek tidak laki-laki karena tak kunjung menyampaikan perasaanmu. Tak jarang juga kau diberi label “jomblo abadi” sebab hidupmu nihil wanita yang mendampingi. Sesekali merasa tak nyaman itu wajar, tapi jangan pernah menyalahkan orang-orang di sekitarmu dan mengutuk keadaan. Mereka hanya belum paham apa yang sesungguhnya sedang kita perjuangkan.
Bukan penjelasan panjang lebar yang bisa menyelamatkan. Orang-orang itu hanya butuh melihat kegigihan dan keyakinan kita:
Bahwa semua perasaan yang belum kita luapkan ini akan menemui muaranya. Menjumpai akhir yang kita tunggu sebagai pesta perayaan. Jika menahan diri untuk tidak membuka hati pada sembarang orang adalah puasa, berjumpa denganmu jadi momen berbuka yang telah ditunggu sekian lama.
Saat pertemuan itu terjadi, kita akan saling menatap dengan penuh isyarat. Mata kita bertaut merayakan kemenangan. Kita dua orang yang sama-sama keras kepala berjuang demi akhir yang sebenarnya belum bisa diperkirakan. Kita, sepasang cinta yang dipertemukan tanpa proses pendekatan. Kau dan aku, sepasang manusia yang lekat tanpa pernah harus berpelukan.

Tak perlu khawatir, Sayang. Seburuk apapun dirimu, tangan ini akan tetap terbuka. Dulu, aku pun pernah jadi versi brengsek dari seorang manusia


Datanglah padaku dengan apa adanya. Kau tak perlu harus sangat kaya raya, rupawan, atau punya kesabaran tanpa batasan demi menjadikanku pasangan. Sungguh, versi ideal macam itu tak begitu penting di mataku. Aku pun tak akan repot bertanya berapa banyak hati yang sempat kau lewati sebelum diriku. Buat apa? Toh tanpa mereka, kau yang sebaik hari ini juga tak akan ada. Walau kadang cemburu, aku akan berusaha sekuat mungkin untuk berdamai dengan masa lalumu.
Bagiku, cukuplah kamu yang muncul di depan pintu sembari berkata,
“Aku sudah selesai dengan diriku. Sekarang aku ingin menjalani hidup bersamamu.”, kata-kata sederhana macam ini sudah bisa melelehkan hatiku.
Aku manusia sempurna. Dulu, aku sempat menjelma jadi versi brengsek seorang manusia. Aku pernah menyakiti orang-orang yang menyayangiku tanpa syarat. Aku pernah melakukan kebodohan dengan menyerahkan hati pada orang yang salah. Dalam beberapa kesempatan, air mataku sempat menetes karena menangisi kehilangan yang serasa seperti kiamat.
Kau bisa menemukan tweets dan status Facebook-ku yang penuh kata-kata puitis nan galau. Jika menggali postingan lama blog-ku akan kau temukan aku yang sempat mencintai orang lain sedaalam itu. Tak perlu cemburu. Aku yang kini sudah selesai dengan romantisme picisan macam itu.
Aku juga bukan Perawan Maria yang suci dari jamahan pria. Jelas akan kupersembahkan tubuhku untukmu. Satu yang perlu kau tahu, ada jejak tangan lain yang tertinggal di sana — bukti bahwa aku pernah alpa sebagai manusia. Egomu mungkin terluka saat mendengar pengakuanku, namun aku tak ingin memulai segalanya di bawah payung dusta. Kau berhak mendapatkanku dalam versi sejujur-jujurnya.
Setelah mendengar ini, semoga kau tak kecewa. Aku hanya berharap kau melihatku sebagai orang yang pernah salah arah, tapi rela berjuang kembali ke jalan yang “benar” biarpun sampai harus berdarah-darah.

Bersabarlah. Hingga tiba hari di mana kita bisa berbagi rengkuh dan merayakan peluh tanpa perlu khawatir dosa

Aku tahu pasti tak enak rasanya. Mengabaikan semua goda untuk punya pendamping sementara yang bisa diajak bercerita. Tak mengindahkan rasa butuh diusap sayang oleh seseorang setiap lelah datang. Mungkin gagal dan sakit memang membentuk kita jadi penyintas yang rela mengakrabi sepi. Atau bisa jadi, rasa lelah karena terus-terusan gagal menjadikan kita malas membuka hati demi yang dia yang tidak pasti.
Setiap rasa sepi dan sendiri itu menyeruak, selalu ingatlah. Kau tak sendiri. Kita sejatinya sedang bergumul di satu garis emosi.

Demi kebersamaan sederhana macam itu, kau memaksaku makan malam penuh lemak di Rumah Makan Padang pun tak apa. Selama muka kepedasanmu bisa kutemukan di depan mata.
Jarimu berteriak butuh genggaman. Pinggangku menjerit ingin direngkuh saat menyeberang jalan. Kita berharap segera saling menemukan.
Akan tiba masa dimana kita bisa saling merengkuh, meluapkan kasih lewat peluh. Akan datang malam-malam hangat ketika kita bisa berbagi selimut berdua. Main petak umpet, lompat tali, bertanding uno dan adu main domino — atau sesederhana bercinta di bawah hangatnya kain penutup badan tanpa perlu lagi khawatir pada ancaman api neraka.
Berdua, kita menggenapkan hidup masing-masing. Berdua, kita rayakan surga dunia tanpa perlu lagi takut dosa.

Sampai hari itu datang, jangan lelah untuk terus berjuang. Meski tak bersisian, ketahuilah kau tak pernah sendirian

Sebelum tiba waktunya kita ditakdirkan untuk saling menemukan, kau dan aku hanya harus menambah tabungan ketabahan.
Hidup terlalu singkat untuk terus-terusan mengeluhkan kesepian. Hatimu terlalu berharga jika diisi dengan kesibukan untuk mengurusi cinta yang hanya sementara.
Setiap kau merasa sendiri dan tak ada yang mendampingi, ingatlah padaku. Seseorang yang belum pernah kau temui. Manusia keras kepala yang kata orang punya imajinasi liar dan gila — karena rela mati-matian menjaga diri agar pantas menyandingmu yang entah kapan datangnya.
Tidakkah fakta ini harusnya membuatmu merasa punya rekan? Aku mendampingimu dalam diam. Barang sedetik pun, kau tak pernah sendirian.



Salam kecup jauh dariku,
Seseorang yang tak pernah lelah berjuang memantaskan diri untukmu

Tulisan ini saya kutip dengan beberapa perubahan dari sebuah blog ternama.
Selasa, 18 November 2014

Pemeran Utama

Diantara derasnya hujan bulan November, sore ini matahari muncul menampakkan sinarnya.
Diantara desakan seorang sahabat, sore ini terlontar pertanyaan tentang sebuah kepastian.
Dan diantara rasa nyamanku padamu, aku pun mulai terusik.
"Ya aku nganggepnya kamu kaya mbakku." Jawaban singkatmu.
Hatiku, entah tampaknya enggan bergeming, kelu. Karena ia sudah lelah mungkin oleh ombang ambing perasaan manusia.
Diantara harapku padamu, aku menyelipkan keraguan.
Maafkan ku sahabatku, aku menikmati posisiku saat ini.
Maafkan ku kau, jika aku akan mereduksimu disetiap langkahku.
Terima kasih kalian, para pemeran utama.

Minggu, 16 November 2014

Tentang Hujan

Hujan.
8 April beberapa tahun lalu adalah hujan pertama bagi kita, antara aku dan Pria Pertama. Hujan memaksa kita untuk meneduh diantara kokohnya bangunan baru yang melindungi kita dari air hujan. Kala itu kau berusaha bercengkrama denganku.
"Coba tengok pipiku, sepertinya ada sesuatu," sambarmu.
"Mana, tak ada kok,"
"Ini, lihatlah", ia menjawab seraya menengok pada kaca spion motornya. Dan aku tak melihat setitik kotoran pun di pipinya.
Hari silih berganti, hingga aku tahu maksud hatinya berkata seperti itu untukku menyambangi pipinya dengan tangan lembutku. ah.
Sudah beberapa tahun lalu, dan kini kau tiada. Ada rindu yang terselip diantaraku.
Rindu juga sesaki pelupuk mataku, tatkala beberapa foto saat kau sakit masih ada didalam leptopku.
Ya, semoga hujan akan membawa sisa sisa kerinduanku padamu. Dan biarkan rindu ini bergati tuan agar tiada sesaki dada.

Hampir seminggu ini juga, hujan memaksaku bertahan lebih lama denganmu, Pria Kedua.
Meski aku selalu datang dengan sahabatmu,
Meski kau tiada menghiraukanku,
Meski hanya tepukan diatara kedua telapak tangan kita yang berbicara,
Aku tak apa.
Ada bahagia melihatmu disana meski entahlah.
Tak apa, rindu ini sudah berbalas melihat sosokmu.
Hujan, semoga jika tiba saat itu, kau bisa membuatku bertahan lebih lama dengannya, dengan hangat kata diantara kita. Dan jangan biarkan dingin menyerbak diantara kita, kumohon.
Sabtu, 08 November 2014

Jika aku

Jika aku tak hadir lagi esok dalam harimu, tolong pastikan jangan kau sakiti dirimu sendiri. Seperti kau menyakiti dirimu sendiri malam ini. Aku hanya mendengar dan melihatmu, merana turut merasakan pilu. Aku membiarkanmu bukan karena aku tak tega padamu. Tapi kurasa kau tahu lebih baik dariku.
Jika aku tak akan pernah hadir esok. Berubahlah menjadi pria terbaik bagi wanitamu. Aku yakin kau satu manusia, tapi mengapa kau tampak berwajah dua. Ada kah yang mengganggumu hingga kau begitu?
Jika aku tak akan pernah tampak bagimu, kuharap kau mengerti bahwa ada harap yang tumbuh dalam hatiku hingga aku mau bertahan dengan sikapmu. Aku memaafkanmu, jika maaf itu tak sempat kau ucapkan langsung padaku. Aku mengikhlaskanmu, jika saat aku pergi tiada ucapan terima kasih darimu. Dan aku juga akan melepaskanmu, jika saat itu tiba kau tak bisa lagi menggenggam jemariku.
Jangan datang dengan wajah murung seperti malam ini. Bahkan jangan setetes pun air mata mengalir. Karena aku pasti akan lebih sedih melihatmu seperti itu. Karena aku juga tiada bisa menghapus air matamu.

Selamat malam, Pria Kedua.

 

Blog Template by BloggerCandy.com